Jumat, 26 Juli 2013

Colour Blind

Sebelum menikah, saya cukup vokal sama calon suami tentang penyakit turunan dan premarital check up. Menurut saya hal tersebut penting banget karena penyakit itu merupakan gabungan antara gen+life style+takdir. Nah kalo kayak di iklan kan, keturunan diabetes type 1, 6 kali lebih beresiko untuk menderita diabetes juga. Hal yang sama juga berlaku untuk penyakit kayak darah tinggi, cancer dll (saya gak tau seberapa besar chance-nya).

Kesehatan menjadi salah satu faktor penting dalam mempertimbangkan calon (mempertimbangkan loh ya bukan jadi standar mutlak, ujung-ujungnya kan semua keputusan ada di pasangan masing-masing), terutama yang berkaitan dengan penyakit  turunan karena pasti akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Misal kayak penyakit thalasemia, kalo saya dan calon suami punya gen pembawa thalasemia, mending kita cancel aja deh nikahnya, kasian anak-anak nantinya karena kemungkinan besar akan ada anak kita yang menderita thalesemia. Naudzubillah...

Jadi, sebelum nikah kita buka-bukaan tentang riwayat kesehatan keluarga. Calon misua punya gen darah tinggi dan cancer dan saya adalah carrier buta warna (untuk penyakit lain sih saya belum terlalu jelas, dan semoga aja gak ada). Well....walaupun udah buka-bukaan, kami akhirnya memutuskan menikah tanpa mempertimbangkan penyakit turunan tersebut. Bukan karena penyakit-penyakit tersebut dianggap gak parah ya, tapi kami masing-masing menerima dengan besar hati jika suatu saat penyakit tersebut akan melanda keluarga yang akan kami bentuk nanti. Well, lagi-lagi kembali ke HATI, logika mah ke laut aje.    

Salah satu adik cowok saya Buta Warna. Awo (kakak perempuan mama), dua dari tiga anak laki-lakinya buta warna. Jadi dipastikan mama saya carrier BW, dan kemungkinan saya juga carrier BW. Walaupun tampaknya BW ini sepele, tapi dampaknya gede banget untuk masa depan. Orang dengan buta warna gak bisa masuk ke jurusan-jurusan yang mesti peka terhadap warna kayak kedokteran, elektro, seni yang berhubungan dengan warna, militer, dll. Sejauh yang saya tau, penyakit ini gak bisa disembuhkan. Dulu adik saya pernah ikut terapi tradisional untuk buta warna ini, sampe mondok segala di Jogja sana. Hasilnya nihil, mereka bukan bener-bener sembuh, tapi seperti menghapal pola dari buku-buku tes BW.

Pertama kali kami tau tentang BW ini adalah ketika sepupu tertua dinyatakan BW parsial saat mendaftar ulang PMDK-nya di jurusan kedokteran. Kami semua terkejut bahwa dampak BW akan sebesar itu sampai bisa mematahkan cita-cita seseorang. Kami juga tidak menyadari bahwa anak-anak perempuan nenek berpotensi besar sebagai carrier BW. Sejak kejadian sepupu saya itu, kami tidak menyadari kalau cucu laki-laki nenek yang lain kemungkinan ada yang menderita BW juga. Akhirnya sepupu saya tersebut banting stir memilih jurusan yang dia rasa tidak akan bermasalah dengan BW, yaitu akuntansi. Tapi ternyata masalah tidak berhenti sampai disitu. Setelah lulus, waktu tes masuk kerja, sepupu saya sering gagal di tes kesehatan, padahal untuk item-item tes kesehatan yang urgent sepeti kolesterol, asam urat, gula darah, fungsi ginjal, hati, jantung dll dinyatakan bagus semua. Ternyata, masalahnya adalah pada BW. Bank mempersyaratkan calon karyawannya tidak BW, padahal sepupu saya kepengennya kerja di Bank. Tapi kalo dah rezeki ya gak kemana, akhirnya sepupu saya itu keterima juga kerja di Bank, seperti yang dia harapkan.

Adik laki-laki saya dinyatakan BW saat gagal di tes kesehatan terakhir (sebelum pantohir) pada waktu tes masuk AKPOL, padahal beliau ingin sekali masuk AKPOL dan sudah berusaha sangat keras (dari sisi akademis dan olaharaga untuk membetuk tubuh dan kebugaran) satu tahun terakhir di masa SMU-nya demi masuk AKPOL. Adik saya sangat depresi ketika gagal, jadi males untuk ikut SPMB dan akhirnya memilih jurusan manajemen (yang dia pikir gak akan mempermasalahkan BW-nya) di univ swasta di Jogja. Di tahun pertama kuliah, dia tampaknya tidak enjoy dan sering sekali membahas cita-citanya yang kandas untuk menjadi perwira polisi. Tapi akhirnya di tingkat dua dan seterusnya, beliau bangkit lagi, bahkan lulus dengan cepat dengan nilai yang sangat baik. Tapi ternyata masalah yang sama seperti sepupu saya juga dialami adik saya. Adik saya selalu ketakutan setiap kali tes kesehatan untuk masuk kerja karena selalu ada tes BW di setiap perusahaan yang dia idamkan. Akhirnya ia kembali depresi dan seakan menyalahkan mama atas Buta Warna-nya. Wuih..ia benar-benar seperti orang lain pada saat itu, badannya sangat kurus, sangat sensitif, gampang sekali marah dan suka mengunci diri di kamar dan tidak mau bersosialisasi. Sungguh keadaan yang berkebalikan dengan kepribadiannya selama ini yang supel dan humoris. Alhamdulillah, atas izin Allah juga akhirnya dia bangkit lagi pada saat dia diterima kerja di salah satu Bank. Pada saat tes BW, ia dengan mudah dapat melaluinya (bukan berarti dia sembuh ya, hanya dimudahkan Allah untuk melewatinya).

Jadi, seperti yang sudah kami sepakati sebelum menikah bahwa kami akan berbesar hati menerima kalau suatu saat Habib dinyatakan Buta Warna yang mungkin akan mengkandaskan beberapa cita-citanya (hanya beberapa ya, tidak semuanya). Tapi, satu hal yang kami yakini, Allah mencipatakan segala sesuatu seperangkat dengan ketidaksempurnaannya, agar manusia selalu berusaha-bersabar-bersyukur dan selalu ingat pada Yang Maha Sempurna.

Masih banyak jalan ke Roma ya Bib..., rezeki Allah mah maha luas.
Nobody's perfect.
Everybody's so special

Tidak ada komentar:

Posting Komentar